Ketika menjadi seorang ibu rumah tangga dengan segudang persoalan yang terjadi adalah cuma bisa menangis tanpa ada penyelesaian, sehingga mau tidak mau kita disuruh bersabar dan bersabar.
Menjadi seorang IRT ada enaknya tapi juga banyak tidak enaknya. Enaknya menjadi seorang IRT adalah bisa membangun hubungan yang baik dengan anak sejak kecil, bisa menemani anak bermain sejak bayi, mengajarkan anak bicara dan bernyanyi adalah suatu kebanggaan dan kebahagiaan yang tak terkira. Bisa mengantar anak sekolah ketika hari pertama mulai masuk sekolah di playgroup.
Yang merasakan menjadi seorang IRT tentu tahu bagaimana keluh kesah menghadapi situasi keluarga apalagi dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan. Tapi bagaimanapun juga kita harus tetap bersyukur karena kita masih punya sebuah keluarga, banyak diluar sana yang tidak punya keluarga dan hidup sebatang kara tanpa tahu dimana keluarganya.
Aku sendiri seorang istri bersuamikan seorang PNS masih dengan jabatan staf sehingga harus pintar mengatur kondisi keuangan dari gaji suami. Pernah bekerja sekitar satu tahunan lebih tapi yang terjadi adalah anak tidak terurus, lebih banyak membantah dan hilang kepercayaan anak terhadap orang tua. Lagi- lagi anak yang dikorbankan. Akhirnya aku resign lagi dari pekerjaan. Dan sekarang full di rumah hanya dengan mengandalkan gaji suami.
Sebenarnya kalau masalah kekurangan tidak begitu menjadi masalah karena aku sendiri kadang masih diberi orang tua. Mungkin orang tua tahu kalau aku tidak punya banyak duit untuk keperluan kebutuhan aku pribadi, jadi ibuku kadang kasih uang atau transfer sekedar untuk kebutuhan yang mendesak tanpa diketahui oleh suami.
Stress jelas iya, banyak dialami oleh para IRT apalagi yang tidak punya kesibukan di luar rumah. Beda cerita kalau dia seorang IRT dengan segudang kesibukan di luar rumah. Bisa pergi dengan teman-temannya atau yang punya usaha di luar rumah. Untuk aku sendiri lebih banyak berdiam diri di rumah karena aku sendiri adalah seorang pendatang jadi tidak banyak teman ataupun kenal dengan orang. Kenal orang hanyalah teman suami ataupun orang tua dari teman anakku.
Untuk tetangga di sekitar komplek aku tidak begitu banyak hanya sekitar 30 rumah dan sebagian ada yang bekerja. Dan aku kurang begitu suka dengan cara pandang dan pola pikir masyarakat sekitar karena mereka memandang hanya dari luar. Untuk aku sendiri yang banyak di rumah dan bukan pekerja kantoran dianggap orang lain tidak menghasilkan apa-apa (semua dicukupi suami). Banyak cerita yang membuat aku agak enek dengan ucapan-ucapan tetangga.
Suatu ketika Bapakku kirim uang ke rekening aku untuk merenovasi rumah, karena rumahku RSS jadi tujuan bapakku supaya rumahku ditingkat biar kalau ada tamu atau saudara yang menginap ada tempat yang lebih luas di lantai atas. Dan semua berjalan sesuai rencana. Yang membuat aku kesal adalah ketika bangun rumah banyak yang menganggap itu semua duit suami, orang mengira suami aku yang menggelontorkan dana untuk membangun rumah tingkat meskipun suami juga ikut andil dalam pembangunan rumah tersebut tapi lebih banyak uang yang bapakku kasih daripada uang suami. Dan suami pun dengan santainya tidak ada konfirmasi bahwa membangun rumah tersebut banyak dibantu oleh orang tuaku, hal inilah yang membuat aku kecewa berat dengan sikap suami dan aku mulai males keluar rumah karena dianggap aku dan anakku hanyalah penumpang di negeri ini.
Pernah juga kejadian suami lagi renovasi mobil, jadi ceritanya mobilnya dicat di bengkel karena warnanya sudah kusam, terus tiba-tiba ibuku telfon kalau aku ditrasfer barusan katanya buat kebutuhan aku. Anakku tahu tentang hal ini dan dengan polosnya bilang ke ayahnya kalau mama barusan dapet kiriman uang dari eyang. Haahh bagai tersambar petir diriku kenapa juga anakku harus ngomong, spontan suami langsung bilang uangnya buat beli sepeda. Gubrak ya sudahlah dengan berat hati aku mengiyakan. Cuma yang buat aku ga selera makan adalah lagi-lagi keluarga suami ataupun tetangga mengira kalau sepeda itu adalah suami yang beliin. Males aja kalau aku harus konfirmasi ke orang lain kalau itu “uangku” takut orang lain pada ga percaya karena aku sendiri statusnya tidak bekerja.
Kejadian yang sangat luar biasa adalah ketika aku dan suami baru saja mendaftar haji. Seperti biasa aku bukan orang yang suka menyombongkan diri agar orang lain tahu keadaanku. Aku tidak cerita pada siapapun masalah aku sudah mendaftar haji, tapi ada juga tetangga yang tahu. Suatu ketika ada yang bertanya tentang hal ini dan pertanyaannya adalah.. ”pak daftar haji sendirian atau sama istri”? didepan aku pula ngomongnya. Toeng weng weng... aku hanya terdiam dan suami pun jawab santai “sama istri” padahal uang yang buat daftar haji adalah pemberian ibuku, karena ibuku tahu umurku sudah tidak muda lagi. Untuk daftar haji sekarang harus menunggu puluhan tahun, jadi lebih baik mumpung punya uang, anaknya disuruh daftar sekarang. Yang buat aku kecewa adalah suami tidak pernah mau konfirmasi terkait pemberian orang tuaku, jadi orang lain menganggap semua hasil kerja suami.
Begitu juga untuk kebutuhan sehari-hari kadang kalau gaji suami tidak mencukupi aku sering ambil uang di “ATM” dimana saldo tabungan aku tak lain adalah kiriman dari ibuku. Dan aku pun memang tak pernah bilang ke suami kalau aku ambil uang ATM.
Yang membuat aku sangat kesal sama suami adalah ketika liburan. Seperti biasa agenda liburan adalah mudik ke rumah orang tuaku, dan karena keadaan ekonomi memang pas-pasan jadi bawa uang saku juga seperlunya. Ketika itu terjadi drama knalpot mobil bocor dan alhasil harus diganti. Seketika itu suami langsung marah-marah gara-gara uang di tabungannya dia habis dan kecewanya sampai 3 hari 3 malam ngomel-ngomel. Aku diam dan kecewa juga karena uang tabunganku juga ikut habis untuk persediaan selama di perjalanan. Ketika uang tabunganku habis untuk kebutuhan rumah tangga aku berusaha diam dan aku simpan sendiri meskipunn aku tak pernah dapat gaji, tapi ketika uang tabungan suami kosong maka dia kecewa ditambah ngomel-ngomel padahal suami kadang dapat honor dari kantor, hal seperti ini yang membuat aku tambah males. Ditambah lagi kalau ada orang lain bilang hidupku dicukupi suami. Duuhh rasanya pengen nangis bombay karena sejatinya aku banyak mengeluarkan uang untuk kebutuhan rumah tangga.ðŸ˜
Lagi dan lagi jawabannya adalah sabar. Kesabaran memang tak terbatas tergantung manusianya sampai kapan dan sejauh mana dia bisa menghadapinya. Cobaan rumah tangga juga selalu datang silih berganti bukan dari segi ekonomi saja tapi dari segi psikologis dan lainnya. Manusia hanya bisa berdoa Tuhan juga yang menentukan.