Diawali semenjak aku menikah dengan orang kota. Kenapa aku menyebut orang kota karena aku sendiri berasal dari desa tepatnya di perbatasan kota dimana rumah orang tuaku tinggal. Aku mencintai dia, sebut saja Doni aku memanggilnya. Doni adalah orang kota yang aku tahu karena memang semenjak pertama kali aku diajak ke rumahnya dia, rumahnya ada di jantung kota tak jauh dari alun-alun kota. Sedang aku, rumah orang tuaku jauh dari pusat kota dan keramaian. Meskipun aku berasal dari desa alhamdullilah rumah orang tuaku cukup luas untuk dihuni orang tuaku dan kakakku. Namun aku merasa sendiri karena aku selalu berbeda pendapat dengan orang tuaku dan tak pernah orang tuaku mengikuti alur pembicaraanku meskipun aku sudah cukup umur untuk menentukan langkah. Maka dengan tekad yang kuat aku berani menikah berharap hidupku akan lebih baik untuk diriku dan tentunya untuk hatiku. Aku berani ambil keputusan ini karena Doni berjanji setelah menikah dia akan mengontrak rumah untuk kami tempati bersama. Dan aku percaya dengan ucapan Doni sepenuhnya. Sedangkan rumah orang tua Doni meskipun terletak di kota namun rumahnya cukup kecil apalagi keluarganya Doni jumlahnya lebih banyak dari keluargaku. Tapi tak jadi soal karena aku memaklumi bahwa sebagian orang yang tinggal di perkotaan memang mempunyai tempat hunian yang sempit. Bagi mereka rumah bukan segalanya karena kebanyakan orang kota disibukan dengan aktivitas pekerjaan mereka sehingga rumah hanyalah tempat singgah untuk melepas lelah dan sekaligus istirahat.
Banyak hal baru yang aku temui ketika aku harus adaptasi dengan keluarga Doni dimana aku harus menempatkan diri sebagai menantu yang mau tak mau aku harus bisa mengikuti dengan kebiasaan keluarga mereka. Seminggu pertama aku nangis dibuatnya karena aku benar-benar belum bisa menerima kebiasaan orang-orang disini, sebagian orang-orang disini kalau berbicara dengan nada tinggi dan keras. Hampir semua orang- orang penduduk asli berbicara dengan logat keras dan mudah emosi bila ada perbedaan pendapat. Hal inilah yang membuatku tertekan mengingat tujuan aku menikah adalah ingin mencari kedamaian sejati, aku ingin mendapatkan kedamaian yang sempurna karena jujur kuakui di rumah orang tuaku sendiri aku merasa sumpek (gerah) karena orang tuaku sendiri adalah orang yang keras. Aku memang berniat menikah untuk menyelamatkan hatiku dari kekerasan hidup yang aku alami dari kecil. Dalam hati aku salah memilih dan salah langkah. Aku stress dan banyak merenung sehari-hari namun aku memendamnya sendiri dan berusaha menyembunyikan rasa kecewa dan sakit hatiku. Setiap Doni berangkat kerja pagi hari aku selalu sedih dalam hati (kamu jahat). Tapi aku tak berdaya, bahkan untuk meminta janji Doni untuk mengontrak rumah pun aku tak sanggup. Aku menjadi manusia yang paling lemah dan aku Cuma bisa bertahan dengan keadaan. Aku berdoa di tiap malamku berharap ada suatu keajaiban datang di hidupku.
Sebulan kemudian aku hamil, peristiwa yang paling ditunggu-tunggu oleh Doni dan keluarganya tapi tidak dengan aku. Batinku menjerit tapi aku harus kuat, ada malaikat kecil di rahimku yang menanti penuh harapan untuk melihat dunia. Semakin aku bersabar justru aku semakin tersudut. Tiap hari aku hanya ocehan keluarganya Doni dengan kata-kata ndeso dan ndeso. Setiap membahas segala sesuatu yang ditekankan adalah ndeso. Padahal kenyatannya keluarganya Doni yang aku lihat juga termasuk ndeso, mereka masih memakai budaya kuno dalam setiap peristiwa. Bahkan memperlakukan orang hamil pun masih memakai tradisi kuno dimana budaya orang sini kalau hamil tidak boleh memakan sembarangan, kalau mau makan ikan harus ngomong dulu sama jabang bayinya. Padahal di keluargaku meskipun aku orang desa tradisi dan budaya semacam itu sudah banyak yang meningalkan bahkan sudah jadi bahan tertawaan. Di keluarga Doni meskipun orang kota tapi masih kental dengan tradisi kuno. Sebenarnya tak jadi masalah hal itu bagiku, yang jadi masalah adalah sombongnya kelewat batas. Mereka memandang sebelah mata orang desa, mereka menganggap orang desa tidak bisa bergaya, mereka menganggap orang desa tidak maju, bahkan menganggap orang desa terbelakang.
Aku sebenarnya berniat untuk melahirkan di rumah orang tuaku, namun rupanya bayi ini ingin lahir di dekat ayahnya. Belum genap 9 bulan, baru 7 bulan lebih aku melahirkan, sungguh suatu peristiwa yang tidak aku sangka dan tidak aku harapkan karena melahirkan jauh dari orang tuaku. Sakit hati dan kecewa masih belum pergi dari hatiku, bahkan sakit hati dan kecewa dibumbui lagi dengan cara mereka merawat bayi yang masih dengan budaya kuno. Mereka masih menggunakan jimat yang ditaruh di bawah kasur dengan tujuan mengusir roh jahat. Sang bayi juga tidak diperbolehkan keluar rumah sebelum genap 40 hari, dan masih banyak lagi pantangan yang harus dilakukan. Tuhan aku nangis sejadi-jadinya sampai mataku lebam. Doni tak bisa berbuat banyak karena dia sendiri disetir oleh orang tuanya. Dan tak mungkin juga aku cerita ke orang tuaku tentang semua ini. Menginjak 3 bulan usia anakku, aku dijemput orang tuaku pulang dan aku langsung mengiyakan. Aku pulang ke rumah orang tuaku dan disambut hangat oleh semua keluargaku. Aku tak mau pulang ke rumah Doni kalau dia belum ngontrak rumah sendiri. Sudah pasti aku jadi bahan penghinaan, cibiran dan pasti pergunjingan di keluarga Doni. Apalagi orang tua Doni orang yang semangat sekali untuk urusan menjelek-jelekan orang. Tapi aku cuek dengan semua itu, aku juga butuh kebahagiaan dalam hidup. Aku Cuma meminta Doni untuk menepati janjinya. 3 tahun berselang anakku tumbuh menjadi anak yang sangat lucu dan mengemaskan, pintar bercerita, bernyanyi dan menghibur orang-orang di sekitarnya. Tibalah saatnya Doni membeli perumahan kecil agak jauh dari kota tapi tak jadi masalah bagiku. Akhirnya aku dan anakku diboyong ke rumah yang sangat sederhana dan cukup untuk kami tempati bertiga. Peristiwa itu datang lagi, hal yang sangat aku tidak sukai adalah selalu disalahkan seolah-olah aku adalah orang yang paling bodoh. Tepatnya ketika Doni mengalami kecelakaan, dia terjatuh dari motornya. Anakku takut melihat wajah ayahnya yang dibalut kain perban. Lagi-lagi aku yang disalahin karena dianggap aku tak bisa membimbing anakku, aku dianggap tak bisa menenangkan anakku ketika anakku takut luar biasa. Kecewaku bertambah kepada Doni, dia memang suka ngebut kalau naik motor dan sekarang dia terjatuh, aku lagi yang kena getahnya. Rasanya aku ingin lari sejauh mungkin dan tak mau kembali lagi ke kota ini. Seminggu kemudian Doni mulai sembuh. Hari hari kujalani dengan biasa dan hambar karena aku masih menyimpan semua rasa sakit dan kecewa.
Suatu ketika orang tua Doni beli mobil baru, tentu mereka senang menyambutnya karena baru pertama kali seumur hidup mereka punya mobil. Dan...lagi-lagi keanehan itu terjadi, ternyata orang tua Doni selama ini ga pernah jalan-jalan ke mall ataupun supermarket besar seperti layaknya orang kota. Justru orang tuaku yang hidup dan tinggal di desa lebih sering mengunjungi supermarket yang ada di luar kota. Sudah dari kecil orang tuaku punya mobil jadi sudah dari kecil pula aku sering jalan-jalan menyempatkan waktu ke luar kota untuk sekedar ke supermarket. Sedangkan orang tuanya Doni lebih banyak belanja ke pasar itupun naik becak. Kejadian bermula ketika orang tuanya Doni mengajak jalan-jalan anakku, secara otomatis aku dan Doni ikut serta. Dan selebihnya aku yang meminta Doni untuk masuk mall karena di kota ini tidak ada mall jadi harus ke luar kota. Ternyata... orang yang selama ini selalu menyombogkan dirinya dan selalu mremehkan orang desa (setiap percakapan pasti selalu bilang ndeso dan ndeso). Ternyata dan ternyata belum pernah masuk mall, ketika berada di pintu masuk sudah kikuk katanya ga pede karena tas nya jelek, sandalnya jelek dan bla bla bla. Padahal itu juga termasuk mall kecil bukan mall gede sekelas taman anggrek yang ada di Jakarta. Dan pada akhirnya malah berujung keluar dari mall dan menunggu di parkiran. Hadeeuuhh inikah potret orang kota yang suka mejelek-jelekan orang desa dan meremehkan orang desa. Sebenarnya aku sendiri melihat orang seperti ini tak begitu mempermasalahkan, yang buat aku sangat tidak suka dan benci adalah cara mereka memandang orang desa. Mereka pikir kalau orang yang hidup dan tinggal di desa semuanya terbelakang dan mereka pikir orangnya ndeso. Apalagi setelah aku tahu bahwa ternyata keluarga Doni tinggal di kota adalah dari tanah warisan neneknya yang turun temurun, mending kalau warisannya sehektar, lah ini cuma serumah dan ukuran rumahnya pun seukuran perumnas. Aku sebenarnya ga masalah juga dengan kondisi keluarga Doni yang pas-pasan karena aku sendiri juga tak punya apa-apa, apa yang kita miliki di dunia semua hanyalah titipan tapi aku paling males kalau ada orang menyombongkan dirinya seolah-olah dia punya segalanya. Apalagi orang yang sombong hidupnya biasa-biasa saja. Tentang masih pakai tradisi kuno aku sendiri juga sebenarnya bisa menerima asalkan tak perlu menyombongkan diri kalau dirinya merasa sok orang kota. Aku lebih suka dengan orang yang apa adanya. Apalagi seiring berjalannya waktu orang tuanya lebih ketinggalan jaman. Orang tuaku walaupun tinggal dan hidup di desa tapi sudah memakai android dan sudah bermain WA, bisa ber haha hihi dengan anggota grup sesama keluarga ataupun grup teman pensiunan lainnya. Sedangkan orang tua Doni yang menganggap dirinya orang kota malah tak paham dengan WA dan sejenisnya. Itulah mengapa aku merasa malas tinggal di kota ini, bukan karena apa-apa tapi dari dulu aku memang tak suka dengan orang sombong dan suka meremehkan. Pelajaran yang dapat kita petik adalah jadiah kita selalu rendah diri dan jangan meremehkan orang lain meskipun kita punya lebih dari orang lain.